Selamat datang di Gili Meno, pulau indah yang keindahannya sulit dilihat mata, karena ditutupi silaunya si tetangga, Gili Trawangan. Iya, Gili Meno ini adalah salah satu tempat wisata terbaik yang harus dikunjungi bila di Lombok. Sudah saya jelaskan tadi, Gili Meno bertetangga dengan Gili Trawangan, maka bertetangga pula dengan Gili Air. Ketiga Gili itu memang punya cara tersendiri untuk menarik manusia guna singgah ke mereka. Walaupun memang, Gili Trawangan tetap menjadi primadona diantara tiga itu. Tapi, hal itu tidak sedikitpun menyurutkan niat saya untuk berkunjung ke sana.
Niat bukan sekadar niat, Di dalam otak saya, niat hampir pasti menjadi sebuah kenyataan, setidaknya begitu kenyataannya. Iya, saya akhirnya melabuhkan kaki ini ke Gili Meno. Berangkat dari Mataram, tempat dimana saya bermukim, menggunakan sepeda motor kesayangan berplatkan B, dan memacunya hingga ke pelabuhan Bangsal. Tidak jauh jarak yang ditempuh dari Mataram ke pelabuhan Bangsal, tapi lumayan pegal juga. Singkat cerita, tiba di pelabuhan, lalu beli tiket untuk naik perahunya, tunggu panggilan (cukup lama bila dibandingkan panggilan untuk yang mau pergi ke Gili Trawangan), dan bila sudah dipanggil, naik ke perahu yang dituju.
Dan, selamat datang di Gili Meno, pulau indah yang keindahannya sulit dilihat mata, karena ditutupi silaunya si tetangga, Gili Trawangan. Begitu 'kan kalimat pembuka saya? Tapi memang saat itu sedang silau-silaunya, karena saya tiba di sana sekitar jam setengah sebelas siang. Rencananya adalah, saya tidak menginap di pulau itu. Jadi, apa rencananya? Yaitu menikmati isi pulau ini, sembari mengelilingi pulau ini dengan hanya berjalan kaki. Tidak gila 'kan? Kalau tidak, sila pelototin terus tulisan ini.
|
Paham 'kan artinya? |
|
Enaknya kalau bisa duduk di sana |
Hal pertama dan satu-satunya yang saya tahu di Gili Meno ini adalah soal taman burungnya. Sebelum berangkat memang saya sudah Yahooing terlebih dahulu tentang Gili Meno. Dan yang menarik minat adalah soal taman burung ini. Jadi, kaki ini melangkah ke taman burung. Meskipun memang tidak semulus yang diperkirakan saya, karena saya ternyata mesti tanya ke beberapa orang terlebih dahulu baru menemukan tempat ini. Singkat cerita (lagi), sampailah saya di tujuan.
|
Daratan yang bernama Gili Meno |
|
Perhatikan. Ada mbak-mbak di depan saya 'kan? Mbak itu yang memberi tahu saya letak taman burung. |
Masuk ke sana tidak masuk begitu saja. Ada yang harus dikorbankan untuk masuk ke dalam sana. Apa itu? Isi kantong kita. Butuh Rp 50.000 untuk seseorang bisa masuk ke dalam sana. Tapi, karena ini bisa saja menjadi kesempatan pertama dan terakhir saya ke Gili Meno, maka itu tidak jadi persoalan. Uang masuk sudah terbayarkan, dan kini saatnya mata dimanjakan dengan isi di dalam taman burung.
|
Bahasa Indonesia-nya, kalau tidak salah, Taman Burung |
|
|
|
|
Sepertinya lebih bagus kalau kita lihat patung di kanan dan kiri saja. |
|
Maaf, saya tidak bisa mengartikan bacaan itu semua |
|
Burungnya serasi sekali, sepertinya mereka berpasangan |
|
No comment |
|
Tidak tahu jenis burung apa ini, tapi sepertinya ia sudah terlalu lama sendiri |
|
Katanya taman burung, tapi ini, sejak kapan burung seseram ini | | |
|
|
Maaf zal, gua pake foto lu. Foto gua yang disitu lebih menyeramkan dari buaya yang tadi |
|
|
|
Burungnya hijau, sehijau daun dibelakangnya |
|
Burung itu unggas, bebek juga unggas, jadi masih masuk akal kenapa ada bebek di taman burung. Apa kabar buaya tadi? |
|
Saya tidak tahu jenis burung ini. Tapi, burung ini adalah burung terlambat yang pernah saya tahu. Jalannya lama banget. |
|
Wow. Inilah dia. "Burung dari surga" |
|
Burung elang, tatapannya begitu dingin |
|
Burung ini mengingatkan saya tentang gambar masa kecil saya dulu |
|
Dan ini dia, penutup tur saya. Bayi burung |
Itulah perjalanan saya selama berada di dalam taman burung di Gili Meno. Urutan foto tersebut sesuai dengan rute perjalanan. Sebenarnya ada pemandunya yang menjelaskan satu per satu, cuma otak saya kecil dan sudah penuh, makanya tidak tertampung semuanya. Tapi yang jelas, menurut mata saya, taman burung ini sangat indah, namun sayang, ada beberapa kandang yang sudah kosong, dan sedikit tidak terawat dengan baik. Sekali lagi, itu menurut mata saya. Alhamdulillah-nya, mata saya minus tiga.
Perjalanan berlanjut, keluar dari taman burung, maka saya segera menikmati keindahan pantai di Gili Meno. Sekitar jam sebelas saya keluar dari taman burung tersebut, dan melanjutkan perjalanan ini dengan berjalan kaki. Sebenarnya ada sepeda dan cidomo, tapi ada beberapa alasan kenapa saya tidak menggunakannya. Sepeda di sana milik penginapan. Jadi, bila ingin menggunakannya, menginap dulu. Cidomo, harganya murah kok, Rp 150.000. Makanya itu, saya mending jalan kaki saja.
Lagi jalan ketemu beginian di kiri saya. Jadi, tidak ada salahnya untuk mampir terlebih dahulu.
|
Ini penyu. Hidupnya di air. |
|
Kalau ini juga penyu. Tapi penyunya sudah besar. Hidup di air juga. |
Penyu-penyu tersebut dalam sebuah penangkaran, yang nantinya setelah dianggap sudah bisa hidup di lautan lepas, maka akan dilepas.
Setelah asyik foto-foto si penyu, saya lanjutkan lagi perjalanan melelahkan ini. Menyusuri pinggir pantai yang pasirnya putih dan dengan matahari yang sinarnya teramat panas.
|
Sebenarnya mau main voly pantai. Tapi apa daya,bolanya tidak ada |
|
Serius. Ini sedang istirahat. Minum tinggal sedikit. Makanan juga sama |
|
Sudah terlalu lama sendiri. Sudah terlalu lama aku asyik sendiri... |
|
Lama tak ada yang menemani. Rasanya... |
|
Dipandang aja terus |
|
Pandang aja, bebas kok |
|
Cukup. Ini yang terakhir |
Akhirnya, setelah melewati semua keindahan itu, saya memutuskan untuk mengakhiri perjalanan ini. Tapi ada beberapa hal yang tidak penting, yang mesti saya beritahu. Pertama, saya berhasil mengelilingi Gili Meno yang luasnya 5,792 mi² atau 150 ha, dengan berjalan kaki. Kedua, saya menghabiskan waktu selama tiga jam untuk mengelilingi Gili Meno dengan berjalan kaki. Dan ketiga, saya berjalan kaki selama tiga jam, mengelilingi Gili Meno di saat matahari sedang tepat di atas kepala. Selesai mengelilingi, seolah-olah nasi campur yang saya beli seharga Rp 15.000 merupakan nasi terenak dan terbaik yang pernah saya makan seumur hidup. Kenapa? Perut benar-benar lapar abis.
Akhirnya, saya menyudahi petualangan saya di Gili Meno. Petualangan gokil yang pernah saya lakukan. Petualangan bodoh yang pernah saya rencanakan. Tapi petualangan ini tetap dikenang sepertinya. Saya tutup dengan kalimat jujur, berdasarkan apa yang saya lihat dengan mata sendiri setelah mengelilingi Gili Meno dengan berjalan kaki. Kalimatnya sebagai berikut,
Disini, andai kata gue diculik, orang-orang juga enggak bakal tau kalau ada orang yang diculik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar